VOKASI INDONESIA HARUS BERPERAN DI ASIA PASIFIK
Jakarta, Ditjen Diksi – Pendidikan vokasi kini bukan lagi sekadar menciptakan tenaga kerja, tapi juga menciptakan sumber daya manusia yang kompeten di kancah dalam negeri hingga global. Karenanya, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) Kemendikbud terus berupaya mewujudkan kerja sama dengan seluruh pihak, baik dunia usaha maupun industri, demi mencapai tujuan tersebut.
Pada program webinar Kemendikbud yang disiarkan langsung oleh CNBC (9/11), Wikan Sakarinto selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi menerangkan bahwa pada prinsipnya Ditjen Diksi ingin mengirimkan talenta-talenta terbaik vokasi ke seluruh dunia untuk belajar dari kehebatan negara lain, lalu kembali ke Indonesia dan membangun bangsa Indonesia yang lebih hebat dan bermartabat di mata dunia. Menurut Wikan, vokasi memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan Indonesia, menciptakan SDM Indonesia yang kompeten dan unggul, serta dapat menciptakan produk-produk dalam negeri dari riset terapan dan kolaboratif.
“Untuk menciptakan SDM yang kompeten, maka tidak hanya hard skill tetapi soft skill yang harus menjadi karakter utama lulusan vokasi. Sebab, kita akan menciptakan SDM yang selain menjadi pekerja, mereka juga akan menjadi pemimpin di industri dalam maupun luar negeri,” ujar Wikan.
Wikan pun menjelaskan, vokasi jangan hanya terjebak untuk menciptakan tenaga kerja, tapi menciptakan SDM yang bisa menjadi tenaga kerja, pemimpin perusahaan di dalam maupun luar negeri, dan menjadi enterpreneur.
Di samping itu, untuk melahirkan SDM yang kompeten juga dapat melalui sinergi pendidikan vokasi dan industri global. Harapannya, peserta didik pendidikan vokasi bisa magang di perusahaan atau melanjutkan kuliah di luar negeri.
Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha Dunia Industri Ahmad Saufi mengatakan, melalui program webinar ini dengan mengundang beberapa atase pendidikan di Asia Pasifik akan dapat melihat peluang dan potensi yang ada pada vokasi, serta menjembatani industri dengan dunia pendidikan vokasi di negara tersebut. “Kemendikbud memiliki 17 atase pendidikan di seluruh dunia. Ini merupakan perpanjangan tangan atau agen, Kemendikbud sebagai jendela atau pintu untuk melihat langsung bagaimana peluang dan tantangan vokasi yang ada di luar negeri, khususnya Asia Pasifik,” ujarnya.
Saufi berharap, dengan adanya diskusi bersama atase pendidikan yang ada di Cina, Jepang, dan Port Moresby ini akan melahirkan banyak hal, utamanya melihat vokasi dalam negeri dari perspektif negara maju, luar negeri, dan tetangga dekat.
Pada kesempatan tersebut, atase pendidikan di KBRI Port Moresby Chaerun Anwar mengatakan, lulusan vokasi Indonesia yang bekerja di lapangan pekerjaan formal di Papua Nugini masih kalah dengan Cina, Malaysia, dan Filipina, karena itu peluangnya masih terbuka lebar. “Mereka lebih menyukai tenaga kerja dari Indonesia, karena lebih skillful dibandingkan Malaysia atau Cina. Jadi, sebenarnya vokasi kita tidak kalah,” jelasnya.
Di sisi lain, Yaya Sutarya selaku atase pendidikan di Beijing juga menerangkan bahwa kerja sama vokasi antara Cina dan Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat, terutama setelah adanya komitmen kerja sama di bidang pendidikan antara Indonesia dengan Cina. Baginya, banyak peluang pelajar Indonesia untuk meneruskan studinya di Cina karena banyak beasiswa. Selain itu, sebagian besar lulusan vokasi di Cina juga banyak yang terserap di industri.
Sementara itu peran lulusan vokasi untuk bekerja di Jepang juga tidak kalah besar peluangnya. Pasalnya, saat ini tenaga magang di Negeri Sakura dipenuhi pekerja Indonesia yang sebagian besarnya lulusan SMK.
Usman Naito selaku CEO Hamaren Group Jepang Indonesia mengatakan, persaingan pekerjaan di Jepang sangat kompetitif sehingga skill yang dibutuhkan adalah skill yang sudah siap pakai. Karenanya, melalui Asosiasi Bisnis Jepang Indonesia, pihaknya tengah berusaha membuat “link and match” antara lembaga pendidikan yang ada di Indonesia dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Jepang.
Naito menerangkan, mahasiswa yang sudah semester tiga sampai empat ke atas bisa magang di perusahaan Jepang selama satu hingga dua semester. Dengan begitu, mahasiswa tersebut akan mendapatkan sertifikasi yang memiliki kesempatan untuk bekerja di Jepang. “Kalau mereka sudah pernah magang di perusahaan Jepang, saya yakin perusahaan-perusahaan Jepang sangat tertarik dengan SDM Indonesia yang sudah berpengalaman,” terang Naito. (Diksi/RA/AP/GS)