Penerapan Filosofi Wabi Sabi bagi Caregiver Lansia di Jepang

Ilustrasi : Canva.com

Ditulis oleh : Nelfuad
Widyaiswara Keahlian Caregiver BBPPMPV Bisnis dan Pariwisata

A. Pendahuluan

Jepang merupakan negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia, yaitu mencapai 29,1% dari total populasi pada tahun 2024. Diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat pada tahun-tahun yang akan datang. Kondisi ini yang menyebabkan tingginya permintaan tenaga kerja di sektor perawatan lansia atau Caregiver ke Jepang.

Caregiver di Jepang disebut kaigoshi atau kaigo. Tugas Kaigo adalah membantu Lansia menjalani kehidupan sehari-hari, seperti makan, mandi, eliminasi, hiburan, serta mendukung Lansia untuk mandiri dan memanfaatkan kemampuannya. Pekerjaan sebagai kaigo sangat dihormati di Jepang, karena budaya masyarakat Jepang sangat menghormati orang tua. Oleh sebab itu tidak heran jika gaji kaigo di Jepang sekitar 20 sampai 25 juta setiap bulan.

Tingginya permintaan Caregiver Lansia ke Jepang tentu menjadi peluang yang sangat potensial bagi calon tenaga kerja dari Indonesia, khususnya lulusan SMK Bidang Keahlian Kesehatan dan Pekerjaan Sosial yang sudah dibekali dengan berbagai keterampilan teknis saat menempuh pendidikan di SMK. Bahkan banyak SMK juga sudah membekali peserta didik dengan Bahasa Jepang, sebagai salah satu persaratan untuk bekerja atau magang di Jepang.

Namun demikian, salah satu tantangan yang dihadapi Caregiver ketika bekerja di negara asing adalah bagaimana beradaptasi secara cepat terhadap budaya setempat. Dari hasil kajian Sri Mulyani (2023) tentang permasalahan utama yang dihadapi Caregiver ketika berada di negara Jepang adalah Shock Culture atau geger budaya. Shock Culture terjadi karena ketidaksiapan menghadapi lingkungan dan budaya baru yang bisa saja sangat berbeda dengan budaya di negara asal, seperti kebiasaan sehari-hari, etika komunikasi, bahasa tubuh, etika, dan sebagainya. Bahkan Anner menyatakan: “Expressions and immersion in cultural practices are valued in Japanese aged care” (Anner, Michael J, 2016: 756). Seorang Caregiver yang bekerja di Jepang diharapkan tidak hanya sebatas tahu tentang budaya, namun juga mampu mengekspresikan dan melibatkan diri dalam praktik budaya, karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat bernilai. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pengenalan dan pelibatan secara empatik terhadap budaya yang dijalankan Lansia merupakan kunci sukses seorang Caregiver.

Salah satu budaya sekaligus filosofi kehidupan yang sudah mendalam dalam kehidupan masyarakat Jepang aadalah Wabi Sabi.  Filosofi Wabi Sabi mengajarkan tentang keindahan dalam ketidaksempurnaan, kesederhanaan, dan kefanaan. Pemahaman yang baik tentang Wabi Sabi dapat membantu Caregiver untuk lebih menghargai kondisi lansia, baik dari segi fisik maupun emosional, serta memberikan perawatan yang lebih sensitif dan penuh perhatian.

Tulisan ini akan membahas mengapa pemahaman tentang Filosofi Wabi Sabi penting bagi Caregiver Lansia di Jepang dan bagaimana prinsip ini dapat diterapkan merawat lansia sehari-hari.

B. Pembahasan

  1. Tentang Filosofi Wabi Sabi

Wabi-Sabi adalah filosofi estetika Jepang yang menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan, kefanaan, dan kesederhanaan. Konsep ini berakar dalam ajaran Zen Buddhisme dan Taoisme, yang menekankan keseimbangan alam serta penerimaan terhadap perubahan. Wabi mengacu pada kesederhanaan, keheningan, dan ketenangan atau dimaknai sebagai kebahagiaan dalam kehidupan sederhana dan tidak bergantung pada kemewahan. Sedangkan Sabi mengacu pada keindahan yang muncul seiring berjalannya waktu. Gabungan keduanya melahirkan cara pandang atau perspektif yang menghargai keindahan yang tidak sempurna, tidak tetap, dan tidak lengkap. Filosofi Wabi Sabi ini tentu berbeda dengan perspektif estetika pada budaya barat misalnya yang lebih pada pencarian kesempurnaan.

Dalam masyarakat Jepang, filosofi Wabi Sabi terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti arsitektur, seni kerajinan, gaya hidup, dan filosofi. Dalam arsitektur misalnya, Wabi Sabi tercermin dalam desain rumah tradisional Jepang dengan bahan dari kayu yang dibiarkan alami, ruang yang sederhana, serta pencahayaan yang lembut.  Dalam kerajinan dan seni tercermin pada Kintsugi, yaitu seni memperbaiki tembikar dengan emas yang menunjukkan bahwa ketidaksempurnaan bisa menjadi bagian dari keindahan. Dalam gaya hidup ditunjukkan dengan sikap menerima ketidaksempurnaan dalam diri sendiri dan orang lain atau menikmati momen sederhana dalam kehidupan sehari-hari, seperti secangkir teh atau perubahan musim. Dalam filosofi kehidupan, Wabi Sabi mengajarkan untuk menerima ketidaksempurnaan dalam hidup, memahami bahwa segala sesuatu bersifat sementara, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Filosofi ini menjadi pengingat bagi masyarakat Jepang bahwa kehidupan yang indah tidak selalu tentang kesempurnaan, tetapi lebih pada bagaimana menerima, menghargai, dan menemukan makna dalam ketidaksempurnaan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa filosofi Wabi Sabi sudah mendalam dan terwujud dalam berbagai aspek kehidupan.

Selanjutnya bagaimana seorang Caregiver menerapkan pemahaman tentang filosofi Wabi Sabi dalam perawatan lansia?

  1. Penerapan Wabi Sabi dalam Perawatan Lansia

Dalam perawatan lansia, filosofi ini mengingatkan Caregiver untuk tidak hanya fokus pada masalah medis atau fisik lansia, tetapi juga merawat lansia dengan hati yang penuh kasih dan penerimaan. Seiring bertambahnya usia, Lansia pasti mengalami penurunan baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, Wabi Sabi dapat membantu Caregiver untuk lebih menerima dan menghargai lansia meskipun mengalami keterbatasan.

Ada beberapa cara agar seorang Caregiver dapat menerapkan Wabi Sabi dalam perawatan lansia, diantaranya adalah:

        a. Menghargai Kesederhanaan:

Wabi Sabi mengajarkan nilai kesederhanaan dalam hidup. Caregiver yang memahami filosofi ini akan lebih cenderung memberikan perawatan yang sederhana namun penuh perhatian. Misalnya, dalam merawat lansia, Caregiver dapat membantu Lansia melakukan kegiatan sehari-hari dengan cara yang tidak rumit, tetapi tetap memperhatikan kenyamanan Lansia. Menghargai kesederhanaan ini juga mencakup kesediaan untuk mendengarkan lansia, meskipun mungkin hanya ingin bercerita tentang kenangan masa lalu atau cerita sederhana dari kehidupan masa lalu.

        b. Menerima Ketidaksempurnaan:

Lansia seringkali menghadapi tantangan fisik dan mental yang tidak bisa dihindari, seperti kesulitan bergerak, berbicara, atau ingatan yang menurun. Filosofi Wabi Sabi mengajarkan untuk menerima kekurangan ini dengan hati yang tulus dan penuh pengertian. Menerima ketidaksempurnaan ini bagi Caregiver dapat ditunjukkan dengan sikap sabar dan fleksibel dalam merawat lansia, serta tidak merasa terganggu dengan perubahan fisik atau perilaku lansia. Sebagai contoh, jika seorang lansia kesulitan berjalan, Caregiver bisa membantu dengan cara yang lembut dan penuh rasa empati, tanpa merasa terbebani atau frustrasi.

        c. Menghargai Keindahan dalam Kefanaan:

Wabi Sabi mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Keindahan terletak pada kenyataan bahwa segala sesuatu akan berubah dan akhirnya hilang. Dalam konteks perawatan lansia, seorang Caregiver yang memahami filosofi ini akan melihat setiap momen bersama lansia sebagai sesuatu yang berharga, meskipun hanya momen yang sederhana. Caregiver akan lebih menghargai waktu yang dihabiskan dengan lansia dan memahami bahwa setiap perubahan, meskipun itu bisa menyedihkan, juga membawa kedalaman dan makna dalam hidup.

        d. Menciptakan Suasana yang Tenang dan Damai:

Wabi Sabi tidak hanya tentang menerima ketidaksempurnaan, tetapi juga tentang menciptakan suasana yang tenang dan penuh rasa damai. Caregiver yang memahami filosofi  ini akan berusaha menciptakan lingkungan yang mendukung kenyamanan lansia, misalnya dengan menjaga kebersihan, kesederhanaan, dan ketenangan. Caregiver akan berupaya menghindari kebisingan yang tidak perlu dan memastikan bahwa lansia merasa aman dan dihargai. Contohnya, memberikan perhatian khusus kepada lansia dengan melakukan perawatan rutin seperti mandi, memberi makan, atau menemani berbicara, sambil menjaga suasana hati yang tenang.

        e. Penuh Kasih Sayang dan Empati:

Dalam penerapan Wabi Sabi, penting untuk memperlakukan lansia dengan kasih sayang yang tulus. Caregiver menunjukkan empati, mendengarkan, memberikan perhatian, dan menciptakan hubungan yang lebih dekat dengan lansia. Jika seorang lansia merasa cemas atau takut, seorang Caregiver yang mengerti filosofi ini akan merespons dengan lembut, memberikan dukungan emosional, dan mencoba untuk memberikan rasa aman. Contoh kecil dalam hal ini bisa berupa memegang tangan lansia saat mereka merasa cemas atau menemani saat merasa kesepian.

Selain beberapa contoh di atas, masih banyak sikap dan perilaku yang dapat diterapkan Caregiver yang sesuai dengan Filosofi Wabi Sabi. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberikan perawatan yang lebih berkualitas dan penuh perhatian.

C. Penutup

Menerapkan filosofi Wabi Sabi dalam perawatan lansia mungkin tidak selalu mudah, terutama bagi Caregiver yang berasal dari budaya yang berbeda. Terkadang, budaya Indonesia yang lebih mengutamakan keterampilan praktis dan kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan mungkin tidak selalu sejalan dengan nilai kesederhanaan dan penerimaan dalam Wabi Sabi. Oleh karena itu, bagi Caregiver yang bekerja di Jepang, penting untuk memahami bahwa perawatan lansia di Jepang tidak hanya keterampilan teknis, namun juga pada kemampuan berempati secara mendalam. Dengan memahami filosofi ini, diharapkan Caregiver akan lebih mudah beradaptasi dan memberikan perawatan yang penuh kasih sayang.

Daftar Pustaka

Anner, Michael J. (2016). Experiences of Japanese aged care: the pursuit of optimal health and cultural engagement Age and Ageing. 753–756 doi: 10.1093/ageing/afw144 Published electronically 9 November 2016

Koren, L. (2008). Wabi Sabi: The Japanese Art of Impermanence. Tuttle Publishing.

Noviana, Fajria (2018) “Pengenalan Etika Jepang Kepada Calon Caregiver Lansia”, Jurnal Harmoni, Volume 2 Nomor 1 Juli 2018 Departemen Linguistik FIB UNDIP, pp. 15-23